10 Pertanyaan Menuju Praktik Seni Feminis
Pada bulan April 2021 saya diundang oleh Penastri (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia) untuk berbicara dalam diskusi “Pekik Perempuan di Panggung yang Maskulin: Feminisme dan Teater di Indonesia” bersama Tya Setiawati, aktor, penulis lakon, dan sutradara di Teater Sakata, Padang Panjang. Diskusi ini dimoderatori oleh penulis Ilda Karwayu.
Saya dihubungi oleh ketua Penastri, Shinta Febriany, dan saya sangat menghargai upaya Penastri melibatkan lebih banyak orang dari disiplin lain. Keterlibatan saya di dunia teater cukup terbatas—selain bahwa saya pernah terlibat dalam produksi pertunjukan Goyang Penasaran bersama Naomi Srikandi dan Teater Garasi, dan hingga saat ini saya masih menjadi salah satu dewan pengawas Teater Garasi. Namun, pengalaman saya bekerja dengan rekan-rekan sebagai juri Cipta Media Ekspresi, hibah seni untuk perempuan di bidang seni dan budaya-- yang kemudian beralih rupa menjadi Sekolah Pemikiran Perempuan-- memberikan saya gambaran persoalan yang cukup mirip di berbagai bidang seni, baik itu sastra, teater, musik, film, maupun seni rupa.
Beberapa persoalan yang kerap kami temukan adalah penyingkiran perempuan dari historiografi seni, minimnya apresiasi kritis tentang karya perempuan (seniman perempuan di masa lalu lebih sering muncul di “majalah wanita” atau kolom gosip), penghargaan seni yang abai terhadap eksperimentasi dan inovasi seniman perempuan (contoh: sama sekali tak ada nama perempuan dalam penghargaan sastra Badan Bahasa 2020, padahal kurun waktu penerbitan karya yang dipertimbangkan adalah 5 tahun), dominasi laki-laki dalam posisi pengambil keputusan di kelompok seni dan dipinggirkannya perempuan ke wilayah kerja-kerja reproduktif, serta komunitas seni yang rentan pelecehan dan kekerasan seksual. Di tengah ekosistem semacam ini, “all-male panels” atau panel yang seluruhnya pembicaranya laki-laki hanyalah gejala dari persoalan yang lebih dalam dan berkerak.
Saat ini, kerja yang saya lakukan bersama rekan-rekan di Sekolah Pemikiran Perempuan terfokus pada intervensi terhadap produksi pengetahuan melalui Etalase Pemikiran Perempuan, ruang menampilkan ragam pengetahuan perempuan di nusantara, dan kelas-kelas yang ingin kami hadirkan kembali setelah SPP 2018. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut kami mengedepankan suara dan perspektif perempuan dari berbagai wilayah, dari Jawa, Kalimantan, Sumba, hingga Papua. Di luar itu, saya juga percaya bahwa setiap individu, terlepas apapun gendernya, dan komunitas seni perlu mengupayakan praktik seni feminis. Perspektif feminis harus menjadi pertimbangan semua, bukan hanya seniman perempuan.
Menuju praktik seni feminis bukan proses instan. Justru kita mesti curiga pada klaim-klaim keadilan dan keberpihakan terhadap perempuan yang sesungguhnya hanya inklusi basa-basi atau catatan kaki. Praktik seni feminis mungkin membutuhkan waktu panjang dan benturan-benturan yang tidak menyenangkan. Proses ini, sebagaimana proses kritis lainnya, dimulai dengan pertanyaan ketimbang klaim. Maka, dalam diskusi Penastri, saya mengajukan 10 Pertanyaan Menuju Praktik Seni Feminis.
“Yang tidak saya bicarakan ketika saya membicarakan feminisme” alias Terma Percakapan
Saya memulai diskusi dengan terma percakapan, atau apa yang saya maksud dengan “feminisme”. Ketika saya bicara tentang feminisme, saya tidak bicara tentang bagaimana seniman perempuan bisa setara dengan laki-laki atau langkah-langkah apa yang perlu ditempuh untuk itu. Feminisme yang saya bicarakan menyoal kenapa praktik, pencapaian, dan cara pandang seniman laki-laki dijadikan standar tanpa dipertanyakan. Feminisme di sini saya letakkan sebagai alat bedah yang tak bisa dilepaskan dari gerakan politik, sebuah paradigma kritis terhadap struktur kuasa yang melanggengkan dan bertumpu pada penindasan berbasis gender. Di dalamnya, analisis gender saja tidak cukup, persoalan gender bersinggungan dengan struktur penindasan yang lain, berbasis kelas, ras, wilayah geografis, abilitas.
Diskusi selengkapnya bisa disaksikan di kanal Youtube Penastri:
10 Pertanyaan Menuju Praktik Seni Feminis
#1
Teks apa yang kita baca, gali, edarkan, pertunjukkan, dan bagaimana perempuan hadir di sana?
Teks mana yang dianggap penting untuk diketahui di dalam disiplin seni, dan mengapa? Dalam teks wajib baca ini, peran-peran macam apa yang tersedia untuk perempuan? Apakah peran-peran itu melanggengkan stereotip yang ada atau mereduksi perempuan sebagai karikatur?
Ketika kita memilih teks untuk dipertunjukkan, apa yang mendasari pilihan itu?
Di bagian ini saya memberikan contoh tokoh “ibu” dalam naskah Mega, Mega karya Arifin C Noer (1968).
Saya juga menyebut naskah Waktu Tanpa Buku karya penulis Norwegia Lene Therese Teigen, diterjemahkan oleh Faiza Mardzoeki.
#2
Bagaimana kita membaca teks yang ada? Ideologi apa yang beroperasi saat kita membaca?
Di sini saya membahas bagaimana bias paternalistik mewarnai penggambaran heroik pelacur dalam ”Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta” karya W.S. Rendra (1968) dan “Soempah WTS” karya F. Rahardi (1983).
Mungkin lain kali saya akan kembali ke topik ini lagi. Saya cukup terpukau oleh romantisasi pekerja seks—yang biasanya bukan tentang si perempuan tapi si “aku”-- dalam banyak karya seniman laki-laki.
#3
Bagaimana kita membaca ulang?
Pembacaan ulang terhadap suatu teks kerap digunakan sebagai metode resistensi. Sebagai contoh, seniman perempuan seperti Toeti Heraty, Bulantrisna Djelantik, dan Cok Sawitri mengunjungi kembali legenda Calon Arang dan menyodorkan pembacaan yang lebih feminis.
Saya juga menyebut cerpen “Goyang Penasaran,” yang kemudian menjadi pertunjukan teater, sebagai pembacaan ulang terhadap cerita Salome dan Yohanes Pembaptis untuk membicarakan politik gender dan konservativisme agama di Indonesia pasca reformasi.
#4
Bagaimana sejarah seni disusun? Siapa yang dianggap valid, diajarkan, dibicarakan?
Di sini kita kembali pada persoalan historiografi. Mengapa seniman teater berulang kali menggali karya Arifin C Noer, Rendra, Putu Wijaya, namun jarang sekali membicarakan Margesti? Mengapa kita terus membicarakan Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad namun tak akrab dengan karya-karya Toeti Heraty?
Kolektif Ruang Perempuan dan Tulisan (RPDT) telah membicarakan nama-nama perempuan yang tidak dibicarakan atau dihapus dari sejarah. Nama-nama seperti Rukiah atau Sugiarti Siswadi sengaja dihapus di Masa Orde Baru karena keterlibatan mereka dengan Lekra. Dewi Kharisma Michellia, salah satu penggagas RPDT, juga menyebutkan bahwa banyak penulis perempuan dilarang beredar akibat sensor pemerintah Hindia Belanda. Dari 800 nama penulis yang diberangus di masa itu, 300-400 di antaranya adalah penulis perempuan Melayu Tionghoa.
#5
Strategi macam apa yang dapat kita lakukan untuk melakukan intervensi terhadap historiografi seni?
Salah satu hal yang tengah diupayakan adalah terus meneliti kiprah perempuan di masa lalu dan memperluas ruang untuk membicarakannya, seperti dilakukan Melani Budianta yang meriwayatkan mentornya, aktor/dosen Tuti Indra Malaon di Etalase Pemikiran 2020.
Hal lain yang saya sodorkan adalah pembacaan melawan arus (reading against the grain). Pembacaan karya-karya perempuan di masa lalu sangat ditentukan oleh ideologi yang beroperasi pada masa itu. Misalnya, karya-karya mereka dianggap remeh dan hanya berkutat di wilayah domestik. Bagaimana kita melihat nilai dan potensi dari apa yang dilakukan seniman perempuan di masa lalu dengan kacamata yang berbeda?
#6
Bagaimana kita keluar dari perangkap cara pandang reduktif bernama “isu-isu perempuan”?
Karya perempuan sering kali segera disingkirkan ke wilayah ghetto bernama “isu-su perempuan.” Hanya Tuhan yang tahu apa “isu-isu perempuan” itu, sebab, setidaknya berdasarkan karya-karya yang saya amati, persoalan gender selalu berkelindan dengan persoalan lain. Contoh yang saya sebutkan di sini adalah proyek Shinta Febriany dan Kala Teater yang menyoroti kota dan berbagai persoalan urban, Faiza Mardzjoeki mengolah sejarah, ingatan, dan trauma 1965 lewat Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer, dan beberapa proyek Teater Garasi yang mengangkat isu kerja dan kapitalisme global: Gadis Toko (Erythrina Baskoro), Sangkar Madu (Verry Handayani), dan Perihal Pekerja Hantu yang Menari di Sepatumu (Arsita Iswardhani).
#7
Seperti apa pilihan estetik berperspektif feminis?
Pada bagian ini saya mencontohkan Pasir Berbisik sebagai karya berperspektif feminis yang menggugat politik tatapan dalam film. Esai saya tentang Pasir Berbisik bisa dibaca di sini.
#8
Bagaimana melakukan (oto)kritik terhadap ‘komunitas’ dan ’kolaborasi’?
Bagaimana bersikap kritis terhadap komunitas kita sendiri? Bagaimana menciptakan komunitas yang aman dan inklusif?
Selain itu, kata ‘kolaborasi’ sering kali diromantisasi, dianggap praktik ideal, padahal relasi kuasa yang berlangsung di dalamnya sangat menentukan siapa yang menentukan arah, mendapatkan privilese paling banyak dari kolaborasi tersebut, serta siapa yang menyokong dan mengerjakan kerja-kerja tak terlihat.
#9
Bagaimana kita digerakkan atau dibekukan oleh kerja-kerja reproduktif?
Kerja-kerja reproduktif – dari administrasi hingga mengurus anak – menopang kerja-kerja produktif yang dilakukan seniman atau komunitas seni. Kita perlu terus mengkritisi praktik kita maupun komunitas tempat kita bekerja: Siapa yang melakukan kerja kerja tersebut? Yang kerap terjadi di komunitas seni: Perempuan kesulitan berpartisipasi lebih dalam kegiatan berpikir dan berkarya sebab mereka menanggung beban kerja reproduktif yang besar, baik di dalam rumah tangga maupun di dalam komunitas. Bagaimana kita bergerak bersama-sama untuk mengupayakan pembagian kerja yang lebih adil?
#10
Struktur macam apa yang membuat saya tak mendengar/ membicarakan/ mengkritisi karya seniman perempuan?
Pertanyaan “di mana seniman seperempuan” sering kali diajukan dan menjadi legitimasi bagi “all male-panels.” Terkadang seniman perempuan disalahkan karena mereka absen, (dianggap) tak ada, atau kalaupun ada, selalu saja ada yang kurang—kurang ahli, misalnya (maka kita sering dengar: “ya, panelnya laki-laki semua karena tidak ada perempuan yang ahli di bidang ini”).
Seniman perempuan selalu ada, dan kami tak ke mana-mana. Maka ubah pertanyaan menjadi: Struktur macam apa yang membuat saya tak mendengar/ membicarakan/ mengkritisi karya seniman perempuan?
***
Baca juga:
Menggugat Teks dan Praktik sebuah Pentas, Jawa Pos, 9 Mei, 2021
Patriarki telah Menyusup ke dalam Panggung Teater Kita, Konde.co, 4 Juni, 2021
Feminisme, Mitos, dan Panggung Perempuan, penastri.org