Bongkar: Siasat Feminis dalam Seni dan Budaya di Indonesia

 

Intan Paramaditha

magdalene.co, 27 Februari 2019

Tahun 2018 adalah tahun perebutan ruang dalam seni dan budaya, dengan menajamnya tegangan antara praktik ideologi dominan dengan beragam kelompok yang menggugat, mencari jalan tikus, dan menerobos masuk. Kabar baiknya: perempuan tak henti bersiasat, dan ini akan terus berlanjut.

Dua puluh tahun Reformasi mengingatkan kita pada kembali maraknya gerakan perempuan setelah penyingkiran dan depolitisasi selama rezim Orde Baru, namun bias gender masih terasa kuat di mana-mana, termasuk di ranah seni dan budaya. Pada tahun 2018, forum kesenian, diskusi kebudayaan, maupun ajang perlombaan dan pemberian penghargaan masih saja diwarnai oleh “panel laki semua” alias all-male panels yang melanggengkan dominasi laki-laki sebagai suara otoritatif dan pembuat keputusan.

Sebagai contoh, tidak banyak nama perempuan beredar dalam nominasi penghargaan sastra dua-tiga tahun terakhir. Festival dan acara “indie” yang kita harapkan menjadi alternatif bagi konstruksi selera dominan juga kerap abai terhadap pentingnya suara perempuan. Bahkan dalam Kongres Kebudayaan di akhir tahun lalu (5-9 Desember 2018) cukup jarang kita temukan panel yang melibatkan perempuan sebagai pembicara atau ahli, apalagi yang menimbang perspektif feminis.

Di sisi lain, saya beruntung bisa terlibat dalam dua proyek aktivisme kultural dan bekerja bersama para perempuan yang terus melacak kemungkinan intervensi ruang. Di awal tahun lalu saya menjadi salah satu juri Cipta Media Ekspresi, hibah untuk perempuan pelaku kebudayaan di segala bidang seni. Hibah ini kemudian diikuti oleh program pendampingan, program penajaman karya dan kerangka pikir melalui Sekolah Pemikiran Perempuan (Yogyakarta 17-19 Oktober 2018), dan beberapa inisiatif lain yang berlanjut tahun ini.

Dalam skala yang lebih kecil, saya dan rekan penulis Lily Yulianti Farid mengadakan kelas menulis kritik sastra dan film Period (17-18 Desember 2018) sebagai langkah turut membangun ekosistem seni yang lebih kritis, beragam, dan setara. Diajar oleh Melani Budianta dan Lisabona Rahman, kelas ini terbuka untuk siapa saja--perempuan, laki-laki, dan lainnya--namun menekankan pada perspektif feminis dalam proses kuratorial bahan bacaan maupun karya untuk ditelaah.

Pengalaman saya selama setahun belakangan menunjukkan bahwa: 1) Kita tidak kekurangan perempuan di bidang seni dan budaya; 2) Pengabaian suara perempuan maupun perspektif feminis dari ruang-ruang dominan dan posisi-posisi strategis terus terjadi; 3) Terlepas dari sempitnya ruang, perempuan terus bersiasat. Temuan ini bukan hal baru, dan kedua proyek yang saya sebut hanya segelintir dari bermacam inisiatif kolektif perempuan dalam menyikapi dominasi patriarki di bidang seni dan budaya. Namun saya merasa harus menuliskannya, lagi dan lagi.

Dalam Simposium Pertunjukan di Indonesia yang diadakan di Yogyakarta tahun 2009, sejumlah seniman dan aktivis perempuan dalam FGD Gender dan Seksualitas telah memetakan hal ini serta mengadakan sejumlah pertemuan untuk menentukan langkah selanjutnya. Sepuluh tahun kemudian, kita masih dihadapkan oleh banyak persoalan yang sama.

Empat puluh perempuan yang menerima Hibah Cipta Media Ekspresi mewakili Indonesia Barat, Tengah, dan Timur dengan beragam latar belakang seperti sinden, rocker, santri, buruh, ibu rumah tangga, dan tokoh adat. Sepanjang 2018, kabar tentang penerima hibah dalam berbagai fase proses kreatif, baik riset, penciptaan, atau pertunjukan terus mengalir, dan linimasa saya dipenuhi oleh nama-nama pencipta dan peneliti di bidang sastra, teater, tari, film, seni rupa, maupun musik. Mereka semua adalah perempuan atau mengidentifikasikan diri sebagai perempuan. Ini segera meruntuhkan alasan kurangnya partisipasi perempuan yang menjadi legitimasi dominasi laki-laki di forum-forum seni budaya. Pada kenyataannya, perempuan ada, berpikir, mencipta, membuat keputusan, bekerja sama.

Saya mencatat berbagai masalah perempuan dalam seni dan budaya serta ragam siasat yang muncul saat saya berkolaborasi dengan aktivis perempuan Andy Yentriyani dan rekan-rekan di Cipta Media Ekspresi dalam merancang program Sekolah Pemikiran Perempuan. Persoalan utama ranah seni budaya bukan absennya perempuan, tetapi ketiadaan kemampuan untuk mengenali dan menghargai karya-karya mereka. Maka yang seharusnya sejak lama dilakukan adalah membongkar ideologi dan praktik serangkaian institusi yang membatasi dan bahkan menihilkan kerja perempuan. Bagaimana institusi keluarga, pernikahan, dan agama menjadi rambu-rambu bagi perempuan untuk berkarya? Bagaimana “gawang-gawang” kebudayaan--sekolah, komunitas seni, kritikus, dewan kesenian--terus menentukan akses dan standar tanpa menimbang perspektif feminis? 

Selama setahun terakhir saya menyaksikan navigasi perempuan dalam bermacam rupa. Hadirnya pengajar dan narasumber perempuan dalam lokakarya Period, misalnya, bisa dilihat sebagai siasat cepat yang merespons “panel laki”. Namun ada juga siasat yang butuh waktu bertahun-tahun. Bagaimana menciptakan dan memelihara ruang yang memberikan pengakuan pada karya-karya perempuan? Bagaimana terus memastikan ketampakan seniman maupun intelektual perempuan di ruang publik?

Tulisan ini menyodorkan beberapa siasat feminis dalam seni dan budaya, sebuah catatan pengingat atau sontekan yang bisa dilihat terus-menerus sebab kita mudah lupa dan dilupakan. Di dalamnya saya menyebut beragam inisiatif yang digagas oleh perempuan. Saya tidak menyebutnya “langkah awal” sebab, seperti yang saya singgung di atas, kolektif perempuan telah lama bersiasat.

Baca selengkapnya di magdalene.co

 
Intan Paramaditha