Intan Paramaditha: Rajutan Petualangan Dan Horor Perempuan Kritis
Warning Magazine, 24 Januari 2018
Perempuan itu memakai jaket kulit dan celana ketat, di tangannya ia menjinjing kepala Haji Ahmad yang putus sampai leher, matanya jalang, ada dendam, luka, dan hasrat yang tak mati-mati meski di bawah purnama lalu tubuhnya telah lebam tak berkutik lagi. Ia adalah Salimah, penyanyi dangdut binal di cerpen Goyang Penasaran yang ditulis Intan Paramaditha. Cerpen ini adalah bagian dari Kumpulan Budak Setan, proyek yang ia kerjakan bersama Ugoran Prasad dan Eka Kurniawan tahun 2010 lalu. Sejak itu, nama Intan Paramaditha bertumpuk dengan citra soal horor, seksualitas, dan feminisme.
Tak seperti penulis lain yang membungkus wacananya dalam topik seksualitas yang eksplisit, Intan Paramaditha memilih horor dan perjalanan sebagai mediumnya. Bukunya yang baru terbit 2017 lalu, Gentayangan seolah rangkuman dari kutub-kutub yang ia jelajahi selama ini. Bersama Sepatu Merah, tokoh ‘Kau’ dalam novel Gentayangan melanglang buana melintasi batas, melintasi waktu, dan terus meredefinisi identitasnya sendiri. Begitu juga dengan Intan Paramaditha. “Saya pikir hasrat berjalan dan menyeberang itu sangat bisa dibaca dengan perspektif feminis, dan itu punya potensi untuk menjadi praktek feminis,” ujarnya. Siang itu, sehari setelah acara peluncuran bukunya di Jakarta, WARN!NG mewawancarinya di sebuah kedai kopi di bilangan Kemang. Ia memakai gaun hitam bercorak polkadot dan sepatu marun gelap. Soal koleksi sepatu merah yang jadi ikon di bukunya, ia mengaku punya cukup banyak, “Tapi belum sampai 20 pasang sih,” jelasnya ramah.
Jika belum membaca novel Gentayangan, kalian akan menemukan format ‘pilih sendiri petualanganmu’ di buku ini. Tiap pembaca dibebaskan memutuskan alur cerita dan ending yang berbeda. “Justru pembaca lebih kreatif ya, beberapa aku nemu di Instagram mereka baca pakai post-it warna-warni untuk menandai jejak, mencatat prosesnya, dan tiap orang dapat pengalaman yang berbeda, itu menyenangkan,” ceritanya soal respon pembaca yang ia temukan.
Saya sempat mengajukan protes terhadap salah satu ending yang saya dapat di Gentayangan. “Sebel banget, di satu ending, saya bangun dan tiba-tiba sudah di Masjid Istiqlal dan harus menikah dengan seorang ustad,” adu saya. Sambil menyesap rokoknya, ia kemudian tertawa. “Itu memang salah satu nightmare ending sih, yang emang aku bikin nyebelin.” Beruntung masih ada 14 ending lain yang tak semengerikan itu. Sepanjang wawancara, ia terlihat sumringah dan terbuka. Kombinasi praktek fiksi dan akademis yang ia geluti membuatnya lancar saja membicarakan teori dan fantasinya secara saling silang.
Selama kurang lebih 2 jam, Intan Paramaditha membeberkan banyak pemikirannya soal hal-hal yang ia geluti. Untuk saya, Intan Paramaditha telah membuka kemungkinan baru membicarakan perempuan dengan medium lain. Bahwa lewat kekuatan alami yang dimiliki perempuan, ia justru bisa diam-diam menelusup, menusuk, dan menyingkap cara pandang baru soal hidup dan pengalaman sebagai perempuan itu sendiri. Seperti yang tertulis di novelnya, ‘Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan’. Simak!
Interviu oleh: Titah AW | Foto oleh: Sekar Banjaran Aji
Kan novel ini banyak jalurnya, saya membayangkan proses penyusunannya pasti ribet dan lama. Apakah pakai target-target penyelesaian gitu?
Nggak ada target, ide novel ini lumayan dekat sama Kumpulan Budak Setan. Kebetulan tahun 2008 ketemu Ugo (Ugoran Prasad) di New York dan kami sama-sama suka Abdullah Harahap terus bikin proyek bareng, dan kayaknya satu-satunya penulis yang suka Abdullah Harahap dan kami suka karyanya itu Eka (Eka Kurniawan). Di tengah proses itu muncul cerita si sepatu merah ini. Dulu judulnya bukan Gentayangan, kata gentayangan itu baru muncul tahun 2011. Dulu pokoknya cerita tentang perjalanan yang diikat oleh sepatu merah, gitu aja.
Setelah itu garap Kumpulan Budak Setan, sambil ngerjain disertasi karena waktu itu saya masih kuliah. Sempat juga bikin proyek Goyang Penasaran sama Teater Garasi. Abis lulus PhD nggak bisa langsung balik nulis ini just because I didn’t have priviledge. Dulu itu saya hampir lulus, Ugo baru mulai, gue nggak mau balik ke Indonesia terus sendirian. Jadi saya nyari kerja di New York juga, sempat kerja jadi guest faculty. Suka banget ngajar di Sarah Lawrence College, kelas saya judulnya Travel and Gender in Cinema. Silabusnya itu bacaan yang juga informed buku ini. Misalnya telaah Salman Rushdie atas film Wizard of Oz.
Sampai akhirnya pindah kerja ke Sydney, sampai sana kayak “Oke gue musti ngerjain” karena udah terbengkalai lama. Abis lulus kuliah baru kerasa “Gila, mahal ya tinggal di luar negeri”. Pindah ke Sydney butuh penyesuaian lagi, karena selama ini cuma tahu sistem akademik Amerika. Australia beda banget ternyata. Sempat kayak “Kapan nih gue nyelesein bukunya?”. Tapi setelah agak settle ya lanjut nulis sih.
Anda dan tokoh “Kau” di Gentayangan sama-sama sering berpindah, saya tidak bisa tidak membayangkan dia adalah Anda. Sebenarnya seberapa fiksi novel ini?
Sebenernya di prolog yang dia merasa terkungkung dengan Jakarta itu cukup mirip ya (denganku) karena ditulisnya di awal-awal dan cukup merepresentasikan what I felt about this place, tapi lama-lama si tokoh ini punya nyawanya dan hidupnya sendiri, jadi organik dan tumbuh. Dia melihat hal-hal yang saya lihat, tapi kami itu orang yang berbeda. Dia kan cewek yang naif, maksudnya di banyak sisi dia cukup kritis, tapi kadang dia nggak kritis juga. Misalnya untuk bertahan di New York dia nggak mau susah, yaudah kawin ama bule. Taktik yang dia pilih itu kadang bisa dipertanyakan juga. Walaupun pada akhrinya dia jadi lebih thoughtfuldan kritis soal jalan yang dia ambil.
Mungkin kalau saya memasukkan diri di situ, ada di bagian yang judulnya Mengunjungi Rumah Hantu. Di situ dia menemukan diary seorang pengarang yang menceritakan soal neneknya. Nah itu otobiografis tentang nenek saya yang punya impian-impian yang dibentuk oleh sejarah kolonial. Dia kan inlander yang nggak bisa kemana-mana tapi dia pingin pergi, jadi hobinya cuma pakai baju bagus dan pergi ke pasar. Tapi the whole thing jadi kayak ngambil dari apa yang saya lihat. Kayak ada tetangga saya orang China yang nggak bisa Bahasa Inggris sama sekali tapi dia punya kontrakan di mana-mana. Ada juga tokoh ganteng bernama Fernando.
Wah saya nikah sama Fernando di ending pertama (tertawa).
Oh udah nikah sama dia? Si tokoh itu juga sebetulnya bapaknya temen sekolah anakku di Queens. Si Ugo pernah tanya, “Siapa sih si Fernando? Udah gitu ganteng lagi,” aku jawab “Oh itu kan bapaknya si itu” (tertawa) terus dia ketawa.
Anda sendiri dari belasan ending, paling suka yang mana?
Interpretasi dari puisi Anne Sexton. Yang mereka board on a train that would not stop.
Saya lihat Anda selalu identik dengan warna merah? Kenapa merah?
Awalnya sih karena suka aja, tapi lama-lama semua simbol yang saya gunakan di tulisan selalu hal yang berwarna merah. Selalu bermain-main dengan konvensi merah sebagai simbol hasrat, dan seksualitas, dan apa ya… batas yang ingin dilanggar, mungkin itu sih.
Perempuan “nakal” identik dengan warna merah, setuju nggak?
Nakal itu perlu diredefinisikan juga, tapi aku melihat merah sebagai area yang daring, yang berani loncat. Walaupun itu nggak harus dimaknai secara konvensional sebagai “Nih gue bandel, gue merokok, bertato, minum alkohol.” I think that definition is just too shallow, tapi lebih ke bandel in a sense that you always questions and break boundaries.
Kalau quote-nya Laurel Ulrich yang “Well behaved women seldom make histroy” terlalu dangkal nggak?
Yang dia maksud “well behaved” itu kan menuruti norma dan konformitas, bukan yang menjadi ibu itu artinya “well behaved”, kayaknya nggak se-simplistis itu kan. Aku sih setuju dengan itu, bahwa “well behaved women” itu lebih ke perempuan yang nyaman-nyaman aja dengan comfort zone-nya. Tapi meski dia perempuan, bekerja, punya karier, dan independen itu bukan berarti they are actually leaving their comfort zone juga loh. Mungkin mereka berada di comfort zone dan nggak mendobrak batasan mereka.
Bagaimana Anda menghubungkan aktivitas perjalanan perempuan dengan feminisme?
Saya pikir hasrat berjalan dan menyeberang itu sangat bisa dibaca dengan perspektif feminis, dan itu punya potensi untuk menajdi praktek feminis. Pada akhirnya kan perlu dikritisi menyeberangnya kemana, berjalannya kemana, tapi hasrat itu sendiri udah punya potensi feminisnya sendiri, karena perempuan yang travel dengan laki-laki yang travel kan beda. Laki-laki selalu punya fleksibilitas lebih di ruang publik dari jaman katakanlah Baudelaire mempopulerkan tokoh The Flaneur abad 19, laki-laki yang jalan-jalan di Paris dan punya tatapan agak observasional tentang kota, dan cukup berjarak.
Perempuan kan nggak punya luxury seperti itu, karena pada saat itu perempuan yang di jalan itu dianggap bukan perempuan baik-baik, karena perempuan baik-baik harus selalu bersama muhrimnya, atau sama pasangannya gitu kan. Ya jadi perempuan di jalan itu kalau nggak pekerja seks, atau yang udah tua dan kehilangan sex appeal, atau mereka yang kelas bawah. Perempuan yang respectable itu nggak ada di jalan. Jadi soal publik dan privat antara laki dan perempuan udah beda, dan menurutku sampai sekarang juga gitu, hanya bentuknya berbeda dari 19th century Paris. Nah the act of travel itself punya potensi feminis.
“Soalnya aku juga melihat temen-temen atau saudara yang sekolahnya tinggi, di sekolah bergengsi di Indonesia, tapi ya itu pinginnya cepet-cepet menemukan “imamku” gitu, gemes kan gue?”
Mungkin karena dari jaman dulu yang tugasnya berburu laki-laki ya?
Iya. Oh saya dulu pernah nulis di majalah Bung! soal perempuan petualang, saya bilang di situ bahwa mitos yang dilanggengkan adalah bahwa kalau cowok harus bandel, harus eksplor dan bikin eksperimen in public, maybe sexual experiment, so if you sleep around that’s great, and that’s how to be a man. Sementara perempuan petualang, nggak peduli apakah itu jalan-jalan beneran atau petualang cinta, they’re prostitutes, itu bukan materi yang bisa lo kawinin. Jadi ada double standard soal kehadiran laki-laki dan perempuan di publik, bahkan sampai sekarang.
Yang cukup mengagetkan di Indonesia sekarang itu gelombang konservatisme yang menguat. Saya juga cukup kaget mendapati bahwa banyak banget perempuan yang jadi pingin nikah cepet-cepet, pingin punya anak cepet, karena the idea of domesticity is suddenly appealing dengan doktrin dari macem-macem buku atau film yang kayaknya “kalo lo menemukan imam lo di umur semuda mungkin, yaudah nyari apa lagi”. Aku jadi loh kok balik kesitu, karena aku pikir kita udah melewati (masa) itu, tapi sekarang jadi makin konservatif.
Soalnya aku juga melihat temen-temen atau saudara yang sekolahnya tinggi, di sekolah bergengsi di Indonesia, tapi ya itu pinginnya cepet-cepet menemukan “imamku” gitu, gemes kan gue? (tertawa).
Soal citra perempuan di publik, padahal di Indonesia sendiri ada legenda soal Calon Arang, Nyi Roro Kidul, perempuan bisa juga hebat. Tapi di kehidupan modern perempuan punya citra sebegai gender nomor dua. Menurut Anda kenapa?
Nanti dulu, perempuan dalam mitologi kan tergantung framing juga ya. Tergantung narasi yang diputar seperti apa. Aku melihatnya seringkali narasi yang diputar itu justru dalam sudut pandang patriarkis. Cerita Calon Arang itu kelihatan sudut pandang feminis baru ketika ibu Toety Heraty menulis kisah ini. Sebelumnya Pram cukup simpati, tapi belum cukup feminis, Goenawan Mohammad juga menurutku nggak. Jadi baru 20-an tahun ke belakang ini ada upaya untuk menggambarkan Calon Arang dengan perspektif yang lebih kompleks, lebih feminis.
Trus si Nyi Roro Kidul highly sexualized banget karena perempuan yang kuat tapi diceritakan dengan frame patriarkis yang dominan, itu juga bermasalah. Jadi kalo menurutku upaya untuk merevisi tokoh-tokoh perempuan dalam cerita itu cukup baru. Dan memang jaman dulu kan penulis perempuan tahun 70’an kayak NH Dini itu tidak dianggap serius. Ada kok artikelnya ditulis oleh Jacob Soemardjo bahwa penulis perempuan itu lebih sibuk dengan isu domestik, percintaan, bukan isu besar seperti politik. I mean their position in a way was shaped by the structured juga kan, justru yang harus dilihat ketika posisi mereka udah dibentuk struktur, nah gimana nih taktik mereka untuk memberontak dari situ. Tapi nggak dibaca kayak gitu, yang dibaca cowok-cowok ngomongin isu kebangsaan, sementara cewek-cewek cinta-cintaan, padahal kalo baca NH Dini dia bahas soal gagasan kebangsaan dan kosmopolitanisme dengan cukup reflektif. Tapi kritikus jaman dulu nggak mau melihat kayak gitu, the politics of separate sphere itu kan udah lama banget. Dan baru era 2000-an ada upaya untuk melihat karya-karya perempuan secara lebih serius.
Jadi kalau representasi perempuan di publik secara general masih problematis, itu nggak mengherankan. Tapi bukan berarti sebelum itu perempuan nggak melawan, dari tahu 20’an gerakan perempuan di Indonesia udah kuat, misalnya Gerwani. Tapi ketika orde baru muncul, it was all about crushing women movement. Jadi begitu ada sesuatu yang kuat, dihancurkan. Kemudian sepanjang 30 tahun, perempuan yang aktif di politik dibungkam, dijinakkan dalam wadah-wadah yang benar, seperti Dharma Wanita atau PKK. Jadi perempuan tidak diharapkan untuk radikal secara politik. Makanya karena kita selalu diihapus dari sejarah, (gerakan perempuan) kayak baru-baru terus. Padahal we have a long histroy, but we have always been erased.
Iya ya, ketika tidak tercatat, kita akan terus mengulangi dari awal.
Itu juga yang aku rasakan dengan aktivisme pasca 2000-an gitu ya. Karena kita kan sistemnya masih patriarkis, jadi bergantung pada msyarakat sipil untuk mendokumentasi apasih yang udah dilakukan aktivis atau seniman perempuan. Resource yang mau mendokumentasikan, mengarsipkan apa saja yang udah dilakukan oleh perempuan itu butuh banyak energi, sementara orangnya terbatas. Jadi tidak terlalu mengherankan kalau sampai sekarang debatnya masih “apa sih feminisme”, aduh capek deh gue. Tapi ya iya karena arsipnya juga susah dibikin, generasi sekarang barangkali nggak tahu siapa itu Julia Suryakusuma, Suara Ibu Peduli. Karena ya emang nggak ada atau sedikit sekali arsipnya. Itu baru contemporary history,belum lagi jaman-jaman pergerakan 20’an.