Toeti Heraty untuk Setiap Perempuan

Toeti Heraty dan lukisan Calon Arang karya Rio Helmi. Foto: © Intan Paramaditha, 2019. Mohon tidak gunakan gambar tanpa izin | Please do not use this image without permission.

Toeti Heraty dan lukisan Calon Arang karya Rio Helmi. Foto: © Intan Paramaditha, 2019. Mohon tidak gunakan gambar tanpa izin | Please do not use this image without permission.

 

Intan Paramaditha
Kompas, 15 Juni 2021

Prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki karya Toeti Heraty dibuka dengan kalimat persembahan: “Untuk setiap perempuan yang meredam kemarahan.” Di tahun 2000, buku ini dengan cepat diberi cap sebagai “puisi feminis marah-marah.” Pada saat itu kata ‘feminis’ punya reputasi buruk.

Namun buat saya, yang tumbuh di keluarga patriarkal dan menyimpan banyak pertanyaan sebagai perempuan, Calon Arang adalah kitab rahasia melawan dunia. Tulisan ini saya buat sebagai penulis perempuan yang menyampaikan penghormatan untuk penulis perempuan yang telah menorehkan jejak sebelum saya.

Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, penulis dan Guru Besar Filsafat Universitas Indonesia, telah meninggalkan kita Minggu, 13 Juni 2021. Tentu saja, Toeti Heraty Sang Penulis sulit dilepaskan dari peran-peran lainnya. Saya membayangkan beragam eulogi akan dituliskan dengan bermacam sudut pandang, sebab semasa hidupnya, Toeti bertualang melintasi sekat-sekat disiplin.

Lahir 27 November 1933 di Bandung, Toeti belajar Kedokteran di UI dan psikologi di Amsterdam. Ia kemudian belajar filsafat di Leiden hingga akhirnya meraih gelar doktor filsafat di UI tahun 1979. Toeti bukan hanya akademisi, penulis, aktivis, dan filsuf, tetapi juga pengusaha dan filantropis yang meretas privilesenya untuk mendorong berbagai inisiatif dalam gerakan perempuan, seni budaya, dan dunia akademik.

Calon Arang adalah upaya Toeti menyelami legenda janda penyihir dari Dirah yang marah karena tak ada yang mau meminang putrinya. Apa penyebab kemarahan itu? Toeti menulis, “Apa Anda tahu apa artinya menjadi janda?” Marah dianggap sebagai emosi negatif dan identik dengan irasionalitas perempuan. Akademisi Sara Ahmed menyodorkan istilah “feminist killjoy,” perempuan yang mengganggu kenyamanan karena kemarahannya menguak persoalan yang lebih dalam.

Seperti Calon Arang yang terlalu cerdas dan berkuasa, karya-karya Toeti yang bicara tentang ketidakadilan terhadap perempuan kerap dianggap “killjoy,” tak bisa lihat orang senang. Bayangkan teror Sang Randa, memuja Batari Durga, membalaskan dendam bersama “anak buah yang aneh-aneh penampilannya.” Tapi bila kita ingin membongkar legenda, kita akan lihat janda yang ingin putrinya berbahagia di satu sisi, dan kuasa patriarki – raja dan pendeta – yang terancam oleh kuasa Calon Arang di sisi lain.

Si Randa bukan cuma janda sakti, tapi juga guru yang menggerakkan murid-muridnya. Bertahun-tahun kemudian, kita semua adalah murid-murid Toeti. Begitu banyak aktivis, feminis, akademisi, dan seniman yang melihatnya sebagai panutan dan mentor. Toeti tak pernah sendiri. Menelusuri jejaknya berarti mempelajari pemikiran banyak perempuan sekelilingnya, lintas generasi, termasuk Saparinah Sadli, Herawaty Diah, Julia Suryakusuma, Melani Budianta, Karlina Supeli, Gadis Arivia, Saras Dewi, dan masih banyak lagi.

Jejak Toeti Heraty

Ada jejak Toeti di Institut Kesenian Jakarta, tempat ia jadi rektor 1990-1995, UI, Suara Ibu Peduli, Yayasan Jurnal Perempuan, Akademi Jakarta, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan YLBHI. Ia juga pendiri Cemara 6 Galeri & Museum dan perusahaan keluarga di bidang HAKI-Biro Oktroi Roosseno. Penghargaan kebudayaan diperolehnya dari Pemerintah RI, Perancis, dan Belanda. “Dunia ini nyata,” tulis Toeti dalam puisinya yang lain, dan ia telah bertualang dengan “sepatu merah yang lepas-lepas kulitnya.”

Toeti tak hanya menulis tentang amarah perempuan sihir. Ia juga menulis tentang norma-norma kelas menengah (“terjebak, gelas anggur di tangan”), hasrat perempuan setengah baya di losmen murahan, kota dan ideologi pembangunan dunia ketiga, atau politik global dengan segala persoalannya: perang, krisis lingkungan, pengungsi.

Dalam Manifesto, Toeti menertawakan para pemimpin dunia yang pamer kuasa: “Kalian telah kehilangan gengsi/ seperti badut yang tunggang langgang lari, dalam bencana akhirnya panggil ibu juga.” Puisi-puisinya tak hanya marah tapi juga nakal, jenaka, menggoda, dengan bahasa terkadang kikuk, jauh dari romantik. Satu hal yang tetap: ia pembangkang.

Perempuan di dunia sastra

Di 1970 dan 1980-an, Toeti satu dari sedikit perempuan yang dapat pengakuan dalam sastra Indonesia. A Teeuw dan kritikus lain memuji Toeti dan menyebut tema “citra wanita” di puisi-puisinya, meski istilah ini tak pernah benar-benar diurai. Posisi Toeti di ranah sastra memang istimewa, meski ini juga menguak masalah besar dalam analisis dan pendokumentasian sastra. Di mata para kritikus yang hampir seluruhnya laki-laki, penulis perempuan umumnya tak dianggap serius karena fokus pada tema- tema personal dan domestik.

Penelitian kolektif Ruang Perempuan dan Tulisan menunjukkan banyak sekali nama-nama penulis perempuan yang tak tercatat dalam sejarah.

Toeti tampaknya memahami struktur yang menyingkirkan perempuan di dunia sastra. Ia terus berupaya mengedepankan suara perempuan, baik dengan membaca, mempresentasikan, maupun menyunting karya-karya penulis perempuan generasi muda. Salah satu inisatifnya adalah antologi karya penyair perempuan yang diterjemahkan Harry Aveling, Rainbow: 18 Indonesian Women poets (Indonesia Tera, 2008). Proyek ini juga menunjukkan keinginannya untuk terus melampaui batas, termasuk bahasa dan wilayah geografis.

Tahun ini, selain kehilangan Toeti, kita juga kehilangan tokoh feminis lain: Nawal El Saadawi. Pemikiran Nawal yang kritis terhadap patriarki, agama, dan imperialisme Barat telah diterjemahkan dan beredar secara global. Nawal, sebagaimana ditunjuk aktivis Mona Eltahawy, bukanlah “Simone de Beauvoir milik masyarakat Arab,” melainkan Nawal El Saadawi milik dunia. Mungkinkah kita mengupayakan hal yang sama untuk Toeti Heraty?

Satu hal kecil yang saya upayakan adalah menampilkan dua puisi Toeti, diterjemahkan oleh Tiffany Tsao, untuk buklet Deviant Disciples, bagian dari proyek Translating Feminisms yang digagas Tilted Axis Press di Inggris. Ini hanya langkah sederhana. Masih banyak inisiatif lain yang bisa kita lakukan untuk mendorong penyebaran hasil karya dan pemikiran Toeti, di dalam dan di luar negeri.

Di 2005, Calon Arang menjadi inspirasi saya menulis Sihir Perempuan, kumpulan cerpen tentang perempuan-perempuan yang dianggap sebagai monster. Sebagian cerpen dalam buku ini diterjemahkan ke dalam Apple and Knife (2018), sebuah buku yang mempertemukan saya dengan lebih banyak pembaca dan gagasan, melampaui batas-batas negara. Dalam perjalanan lintas batas ini, setiap kali ditanya siapa penulis Indonesia yang memengaruhi saya, saya selalu menyebut Toeti.

Ada Toeti Heraty untuk setiap perempuan. Mengenang Toeti adalah mengingat setiap langkah untuk memastikan berlangsungnya estafet pengetahuan yang menghargai pemikiran perempuan.

 

________________

 

Baca juga:

Tentang Toeti Heraty

Toeti Heraty di Wikipedia.

Gadis Arivia, “Toeti Heraty: Kupu-kupu dalam Sinar Matahari,” Jurnal Perempuan (14 Juni 2021). - Tulisan ini diolah dan ditambah dengan wawancara dan perspektif baru dari tulisan lama yang telah dimuat di Warna Warni Toeti Heraty, Jakarta, Filsafat UI Press, 2008 dan di JP 90,2016.

Lisa Hill, “Calon Arang, The Story of a Woman Sacrificed to Patriarchy, by Toeti Heraty,” ANZ LitLovers LitBlog (19 Januari 2020).

Tertiani ZB Simanjuntak, "Toeti Heraty: For love of writing and Indonesian people,” The Jakarta Post (14 Desember 2015).

Video:

Toeti Heraty, “Orasi Feminis” (Yayasan Jurnal Perempuan, Oktober 2018).

Beberapa karya Toeti Heraty

Toeti Heraty, Sajak-sajak 33 (Jakarta: Budaja Djaja, 1974).

Toeti Heraty, Mimpi & Pretensi (Jakarta: Balai Pustaka, 1982).

Toeti Heraty, Nostalgi, transendensi : pilihan sajak (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995).

Toeti Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).

Toeti Heraty, Calon arang : kisah perempuan korban patriarki : prosa lirik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).

Toeti Heraty (ed.), Rainbow: 18 Indonesian women poets, terjemahan Harry Aveling (Yogyakarta, Indonesia Tera, 2008).

Perempuan dan Sastra

(Daftar bacaan ini juga direkomendasikan oleh PERIOD)

Feby Indirani, “Apa yang Kita Bisikkan Ketika Kita Berbisik tentang Ekosistem Sastra Indonesia,” Magdalene.co (28 Oktober 2020).

Feby Indirani, “All Male Authors di Nominasi Penghargaan Sastra 2020 Badan Bahasa,” Magdalene.co (3 September 2020).

Intan Paramaditha, “A Feminist Trajectory of Literary Influences,” Inside Indonesia (24 April 2016).

Isyana Artharini, “Menghidupkan Nama Para Perempuan Penulis Masa Lalu,” Jurnal Ruang (28 Februari 2019).

MB Wijaksana, “Melani Budianta: Merekam Perempuan Penulis dalam Sejarah Kesusastraan” dalam Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2013).

Buku-buku tentang penulis perempuan di Indonesia

Diah Ariani Arimbi, Reading Contemporary Indonesian Muslim Women Writers: Representation, Identity and Religion of Muslim Women in Indonesian Fiction (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009).

Korrie Layun Rampan, 30 Wanita Penyair Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).

Korrie Layun Rampan, Antologi 24 Wanita Cerpenis Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 2002).

Yvonne Michalik & Melani Budianta, Indonesian Women Writers (Berlin: Regiospectra, 2015).

Kompas Toeti Heraty untuk Setiap Perempuan.JPG